selamat datang

Senin, 04 Juni 2012

*Review jurnal hukum perjanjian



STATUS HUKUM PERJANJIAN  INTERNASIONAL  DALAM HUKUM NASIOANAL RI
Tiinjaun Dari Perspektif Praktik Indonesia
Damos Dumoli Agustman

ABSTRAK
Hukum doktrin dan praktik indonesia tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional  RI belum berkembang dan seringkali menimbulkan persoalan praktis dalam tataran implementasi perjanjian internasional  di dalam kerangka sistem hukum nasional.Tantangan ini telah mengharuskan indonesia untuk mengambil sebuah kebijakan nasional (politik hukum) yang mengatur hubungan kedua sistem hukum ini. Kebijakn tersebut akan menentukan stastus perjanjian internasional , memberikan arah bagi konsistensi penerapan perjanjian internasional, dan menentukan sejauh mana hukum internasional dapat mempengaruhi sisten hukum nasional.

PENDAHULUAN
            Secara teoritis persoalan berakar pada ketidakjelasan tentang aliran/doktrin yang dianut oleh hukum indonesia tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional .
            Dalam teori , terdapat beberapa pilihan politik hukum yaitu :
a.      Aliran Duralisme yang menempatkan hukum internasional sebagai sistem hukum yang terpisah dari hukum nasional.
b.      Aliran mononisme yang menempatkan hukum internasional dan hukum nasional sebagai bagain dari satu kesatuan sistem hukum.

            Selain kedua aliran tersebut diatas terdapat pula negara yang menempatkan hukum internasional lebih tinggi dari hukum nasional.
            Pada negara-negara hukum modern seperti AS, Inggris dan negara-negara Eropa Barat, pengembangan doktrin  tentang  hubungan ini telah digulirkan sejak awal abad 20-an melalui proses yang cukup panjang baik pada proses legislasi maupun jurisprudensi yang akhirnya terkristalisasi dalam suatu pilihan politik hukum baik mononisme, dualisme maupun kombinasi keduanya. Pada negara-negara tersebut, persoalan status hukum internasional, baik hukum kebiasaan internasional maupun perjanjian internasional dalam hukum nasional mereka telah tuntas dan pada umumnya dapat dipetakan sebagai penganut aliran monisme(Belanda, Jerman, Perancis), dualisme (AS, Inggris, Australia) atau kombinasi keduanya (Indonesia?)
Sistem hukum indonesia  sayangnya belum mengindikasikan apakah menganut monisme, dualisme, dan kombi nasi keduanya. Namun didalam literatur Indonesia , Prof.Mochtar kusumaatmadja (pengantar hukum Internasioanal, Bina Cipta,1976) secara jelas memotret bahwa indonesia mengarahpada monisme primat hukum internasional dan menyarankan agar dikemudian hari pilihan politik hukum yang diambil adalah aliran ini.
UU No.24 Tahun 2000 tentang perjanjian Internasional yang diharpkan serta seyogianya memberi warna tentang politik hukum tentang masalah ini ternyata tidak terlalu tegas menjawab pertanyaan tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Menurut pengamat penulis sebagai salah satu anggota yang pernah turut dalam proses awal pembahasan RUU ini, ketidaktegasan ini disebabkan oleh beberapa faktor yang mewarnai proses penyusunan UU ini, yaitu:
1.      Para perumus UU ini dipengaruhi oleh pemikiran yang berkembambang saat ini melalui pandangan proft. Mochtar kusumaatmadja yang mengidikasikan bahwa Indonesia menganut aliran monisme primat hukum Internasional.
2.      UU ini hanya merupakan kodifikasi dari praktik negara RI tentang pembuatan perjanjian internasional yang sebelumnya dilandaskan pada surat Presiden RI No.1826/HK/1960 kepada DPR tentang pembuatan perjanjian-perjanjian dengan negara lain.
3.      Dunia akademis pada waktu itu tidak atau belum menyediakan jawaban/doktrin tentang hubungan hukum internasional dan nasional.
4.      Jurisprudensi Indonesia belum memberi kontribusi untuk terindefikasinya persoalan ini sehingga nyaris bukan merupakan persoalan juridis yang perlu mendapat perhatian perumusan UU ini.
Derasnya arus globalisasi mengakibatkan persentuhan antara hukum internasional dan nasional semakin Intensif dan bahkan acapkali melahirkan benturan.Akibatnya, Semua negara termasuk Indonesia tidak dapat lagi dapat menghindari benturan ini dan cepat atau lambat harus mengatur hubungan kedua sistem ini.

PEMBAHASAN
Terhadap pertanyaan ini, UU No. 24/2000 tentang perjanjian Internasional juga tidak terlalu tegas memberikan jawaban. Alur pikiranpara perumus UU ini di dominasi oleh pemikiran monisme. Akibatnya,UU ini hanya menyentuh konsep ratifikasi (pegesahan) dari dimensi hukum internasional sehingga tidak memberikan rumusan apa pun tentang konsep ini dalam dimensi hukum nasional.
Mahkamah Konstitusi dalan judical review tentang UU No. 27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsilisasi telah melakukan rujukan langsung pada ” praktik dan kebiasan internasional secara universal”.  Terobosan ini sangat menarik dalam diskusi monisme-dualisme karena menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana hakim dapat terkait pada kaidah hukum internasional .
Dalam praktik negara, adanya perjanjian internasional yang mengharuskan negara mengubah hukum bukan suatu yang lazim. Asumsi dasar dari perspektif hukum internasional justru menekankan bahwa maksud negara untuk membuar perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional. Juru runding Indonesia dalam menegosiasikan UNCLOS 1982 justru menabrak UU
Namun pada era reformasi ini, prinsip bahwa suatu perjanjian harus selaras dengan hukum nasional (pursuant to the respectivelaws and regulations) sangat ditekankan oleh i ndonesia dalam rangka mengamankan serta untuk memastikan bahwa perjanjian yang disepakati  tetap dalam koridor hukum nasional .
            Globalisasi juga ditandai dengan berkembangbiaknya perjanjian-perjanjian internasional yang mencoba mengatur permasalahan-permasalahan yang menjadi domain hukum nasional. Perjanjian-perjanjian semacam ini tidak langsung menciptakan aturan melainkan hanya melakukan standard-setting yang kemudian akan diundangkan oleh negara-negara angota dalam hukum nasionalnya. Perjanjian ini tidak menciptakan norma itu sendiri melainkan mewajibkan negara anggota untuk membuat UU nasional yang menciptakan norma-norma dimaksud. Contoh perjanjian ini adalah konvensi tentang hukum perdata internasional, HAKI, anti korupsi, organiasi kriminal, terorganisasi dan lain-lain. Dalam perspektif hubungan hukum internasional dan hukum nasional, perjanjian semacam ini acap kali dijadikan contoh secara kurang tepat. UU anti korupsi sering diartikan sebagai UU yang mentransformasikan konvensi anti korupsi, atau UU paten atau merk selalu di artikan sebagai UU yang mentransformasikan konvensi tentang patent/trademark. Menurut penulis, UU dimaksud bukanlah UU tranformasin dalam perspektif dualisme,melainkan UU yang mengimplementasikan kewajiban negara anggota terhadan konvensi untuk mengundangkannya dalam hukum nasional terlepas dari aliran apa pun yang di anut oleh indonesia. Konvensi dimaksud tidak bersentuhan dengan hukum nasional karena materi yang dimaksud oleh konvensi berda pada domain hukum nasional. Konvensi-konvensi dimaksud hanya membatasi diri pada formula each stat shall adopt in its national legislation... dengan demikian, UU yang mengimplementasikan konvensi-konvensi yang bersifat standard setting tidak ada kaitannya dengan persoalan hubungan hukum internasional dan hukum nasional.
Kejelasan doktrin dan hukum yang mengaur tentang hubungan hukum internasional dan hukum nasional sudah menjadi kebutuhan hukum mutlak bagi indonesia.
            Sehubungan dengan itu maka sudah waktunya bagi sistem hukum indonesia untuk mulai mengenbangkan aturan tentan hubungan hukum internasional dan hukum nasional yang sekaligus dapat menjawab tentang status perjanjian internasional dalam hukum nasional. Penelitian akademis perihal ini seharusnya sudah harus dimulai dan dikembangkan. Pengguliran yang dimulai dari wacana akademis memang lebih disarankan ketimbang menyerahkan sepenuhnya kepada kecendrungan praktik indonesia. Praktik indonesia sepanjang tiedak dibangun oleh suatu doktrin dan kajian akademis yang memadai tetap akan menunjukan inkonsistensi yang mengarah pada ketidak pastian hukum.
            Hukum perjanjian internasional sendiri telah cukup jelas menempatkan kedudukan hukum nasional. Pasal 26 vienna convetion 1969 on the law treaties mengatur prinsin fundamental hukum perjanjian internasional,pacta sunt servanda yang menyatakan perjanjian mengikat para pihak yang membuatnya dan harus dilaksanakan dengat iktikad baik.
           
KESIMPULAN
            Asumsi dasar dari perspektif hukum internasional menekankan bahwa maksud negara untuk membuat perjanjian adalah untuk menghindari penerapan hukum nasional.
            Pada era reformasi terdapat kecendrungan untuk menyesuaikan dulu hukum nasional sebelum meratifikasi perjanjian internasional.       
Derasnya arus globalisasi memgakibatkan persentuhan antara hukum internasional  dan nasional semakin  intensif dan bahkan acapkali melahirkan benturan.
 Lebih lanjut negara tidak dapat menggunakan hukum nasional untuk menjustifikasi kegagalannya dalam menjalankan kewajibannya yang timbul dari perjanjian internasional.




NAMA KELOMPOK      :


1.    VIRA AQMARINA SABILA (28210392)


2.    DORIAH PANJAITAN (22210154)


3.    LUFI WAHYUNI (24210069)


4.    MIRA MEIDIANI (24210411)

  MUHAMAD NAUFAL ADAMI (24210771)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar